Ø Data Publikasi
Judul : Robohnya Surau
Kami
Pengarang : A.A. Navis
Tahun : Cetakan ketujuh belas:
November 2010
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman : 142
halaman
ISBN : 978-979-22-6129-5
Cerpen berjudul Robohnya Surau Kami
merupakan sebuah prosa karya A.A. Navis. Sebuah cerpen yang bercerita tentang
hakikat dan tujuan hidup manusia. Cerpen Robohnya Surau Kami bagi kami
merupakan cerpen yang syarat akan makna dan pesan moral.
Sebuah cerpen
yang mengkisahkan perjalanan hidup seorang kakek yang tawadu’ dalam beragama
namun harus meninggalkan hidup dengan ketidak pantasan. Seorang kakek penjaga
surau tua yang pekerjaan sehari-harinya
menjaga surau sebagai tempat orang-orang beribadah, menjadi tukang asah
pisau bagi ibu-ibu rumah tangga yang hendak meminta tolong dengan imbalan
seikhlasnya, serta sebagai jagal ayam jika diminta tolong oleh tetangganya.
Seorang kakek penjaga surau yang hidup dengan penuh kesederhanaan tanpa harta
tak selebih pencukup kebutuhan pokok atau primer.Hasil kerjanya tidak untuk
orang lain ,apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan.
Sebuah kehidupan yang hanya berjalan seiring terkikisnya waktu, bagai
terkikisnya raut kening yang legam karena waktu memakan usia.
Di dalam perjalanan kisah sang kakek, awalan
tak selalu sejalan dengan akhiran. Maksud dari pernyataan tersebut
menggambarkan bahwa seorang kakek yang tawadu’ pun meninggalkan dunia dengan
cara bunuh diri, menggorok lehernya menggunakan pisau cukur karena frustasi. Hal
ini terjadi karena sang kakek mendapat goncangan batin akibat mendengarkan
sebuah kisah yang diceritakan oleh seorang pemuda yang bernama Ajo Sidi. Dia
berkisah kehidupan orang yang lebih mementingkan ibadah untuk kehidupan
akhiratnya dibandingkan hal duniawi.
Dari sinopsis cerita yang mampu kita pahami
dari permukaan, kita mampu mengupas lebih dalam akan makna dan pesan moral yang
terkandung di dalamnya. Cerpen Robohnya Surau Kami memberi pesan moral tentang
cerminan bangsa Indonesia. Navis seperti ingin
mengingatkan kita yang seringkali berpuas diri dalam ibadah, tapi sesungguhnya
lupa memaknai ibadah itu sendiri. Kita rajin sahalat, mengaji dan kegiatan ritual
keagamaan lainnya karena kita takut masuk neraka. Kita
menginginkan pahala dan keselamatan hanya untuk diri kita sendiri. Kita
melupakan kebutuhan orang lain. Karenanya kita tidak merasa berdosa dan
bersalah ketika mengambil hak orang lain, menyakiti perasaan sesama atau bahkan
melakukan ketidakjujuran dan kemaksiatan di muka bumi.
A.A. Navis menggunakan gaya bahasa yang biasa digunakan dalam
bidang keagamaan (Islam), seperti garin, Allah Subhanau Wataala, Alhamdulillah,
Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga, Tuhan,
beribadat menyembah-Mu, berdoa, menginsyafkan umat-Mu, hamba-Mu, kitab-Mu,
Malaikat, neraka, haji, Syekh, dan Surau serta fitrah Id, juga Sedekah.
Sedangkan majas yang digunakan dalam cerpen ini di antaranya majas
alegori karena di dalam cerita ini cara berceritanya menggunakan lambang, yakni
tokoh Haji Saleh dan kehidupan di akhirat, atau lebih tepatnya menggunakan
majas parabel (majas ini merupakan bagian dari majas alegori) karena majas ini
berisi ajaran agama, moral atau suatu kebenaran umum dengan mengunakan ibarat.
Majas ini sangat dominan dalam cerpen ini.
Kisah ini secara garis besar bercerita
tentang gambaran bangsa Indonesia. Seperti contoh bercerita tentang keberadaaan
seseorang yang sangat kaya hingga mampu beribadah haji berulangkali namun tidak
mampu memahami hakikat atas apa yang dilakukannya, sehingga tetangga sekitarnya
masih ada yang tidak terbantu atas rejeki yang dimiliki. Bercerita tentang
negeri yang serba melimpah, makmur, sejahtera, hijau dan lohginawi. Namun,
rakyatnya masih ada sebagian besar yang kelaparan. Negeri yang kaya akan
tambang dan subur. Namun, rakyatnya malas dan senang berfoya serta membiarkan
asset negerinya terjamah oleh orang lain demi kepentingan kapitalis semata.
Dari hal seperti itu, kekayaan berimpit dengan kemalasan, serta akan menjadikan
pendapatan perkapita negara pun rendah.
Robohnya Surau Kami merupakan judul cerpen
yang jika kita refleksikan mampu memberikan makna tentang “robohnya negeri
kami”. Sebuah surau yang bermakna negeri dari hasil peninggalan yang dijaga
secara tawadu’ oleh para leluhur. Namun, harus roboh karena puing-puing pondasi
yang terus terbiarkan dan diambil sebagai “bahan bakar masak” oleh orang lain
yang tidak bertanggung jawab.
Dalam cerita ini sarat mengandung nilai –
nilai, pengarang juga mengajak pembaca agar dapat di implementasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
Maka cerita pendek ini sangatlah pantas jika
kita baca untuk direnungkan dan direfleksikan. Dalam sebuah kontemplasi jiwa
yang bijak untuk mampu diimplementasikan dalam kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar