A. Budaya politik parochial (parochial political culture)
Budaya parokial yaitu budaya politik
yang terbatas pada wilayah tertentu bahkan masyarakat belum memiliki kesadaran
berpolitik, sekalipun ada menyerahkannya kepada pemimpin lokal seperti suku.
Pada budaya politik parokial umumnya
tingkat partisipasi dan kesadaran politik masyrakatnya masih sangat rendah. Hal
tersebut disebabkan oleh poleh faktor kognitif, yaitu rendahnya tingkat
pendidikan/pengetahuan seseorang sehingga pemahaman dan kesadaran mereka
terhadap politik masih sangat kecil. Pada budaya politik ini, kesadaran obyek politiknya
kecil atau tidak ada sama sekali terhadap sistem politik. Kelompok ini akan
ditemukan di berbagai lapisan masyarakat.
Budaya politik parokial biasanya
terdapat dalam sistem politik tradisional dan sederhana, dengan ciri khas
spesialisasi masih sangat kecil, sehingga pelaku-pelaku politik belumlah
memiliki tugas. Tetapi peranan yang satu dilakukan secara bersamaan dengan
peranan lain aktivitas dan peranan pelaku politik dilakukan bersamaan dengan
perannya baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun keagamaan.
Disebabkan sistem politik yang
relatif sederhana dan terbatasnya areal wilayah dan diferensiasinya, tidak
terdapat peranan politik yang bersifat khas dan berdiri sendiri-sendiri.
Masyarakat secara umum tidak menaruh minat begitu besar terhadap objek politik
yang lebih luas tetapi hanya dalam batas tertentu, yakni keterikatan pada obyek
yang relatif sempit seperti keterikatan pada profesi.
Orientasi parokial menyatakan
ketiadaannya harapan-harapan terhadap perubahan yang dibandingkan dengan sistem
politik lainnya. Dengan kata lain bahwa masyarkat dengan budaya politik
parokhial tidak mengharapkan apa pun dari sistem poltik termasuk bagian-bagian
tehadap perubahan sekalipun. Dengan demikina parokialisme dalam sistem politik
yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan orientatif dari pada kognitifnya.
Dalam masyarakat tradisional di
indonesia unsur-unsur budaya parokial masih terdapat, terutama dalam masyarakat
pedalaman. Paranata, tata nilai serta unsur-unsur adat lebih banyak di pegang
teguh daripada persoalan pembagian peran poltik. Pemimpin adat atau kepala suku
dapat dikatakan sebagai pimpinan politik sekaligus dapat berfungsi sebagai
pimpinan agama, pemimpin sosial masyarakat bagi kepentingan-kepentingan
ekonomi. Dengan demikian nyata-nyata menonjol dalam budaya politik parokial
ialah kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat kewenangan / kekuasaan
politik dalam masyarakat.
B. Budaya politik kaula/subjek (subject
political culture)
Budaya Kaula artinya masyarakat
sudah memiliki kesadaran terhadap sistem politik namun tidak berdaya dan tidak
mampu berpartisipasi sehingga hanya melihat outputnya saja tanpa bisa
memberikan input. Pada budaya politik ini, masyarakat yang bersangkutan sudah
relatif maju baik sosial maupun ekonominya, tetapi masih bersifat pasif. Budaya
politik kaula adalah mereka yang berorientasi terhadap sistem politik dan
pengaruhnya terhadap outputs yang mempengaruhi kehidupan mereka seperti
tunjangan sosial dan hukum. Namun mereka tidak berorientasi terhadap
partisipasi dalam struktur input.
Tipe ini memliki frekuensi yang
tinggi terhadap sistem politiknya, yang perhatian dan frekuensi orientasi
terhadap aspek masukan (input) dan partisipasinya dalam aspek keluaran sangat
rendah.
Hal ini berarti bahwa masyarkat
dengan tipe budaya subjek menyadari telah adanya otoritas pemerintah.
Orientasi pemerintah yang nyata
terlihat dari kebanggaan ungkapan saling , baik mendukung atau permusuhan
terhadap sistem. Namun demikian, posisinya sebagai subjek (kaula) mereka
pandang sebagai posisi pasif. Diyakini bahwa posisinya tidak akan menentukan
apa-apa terhadap perubahan politik. Mereka beranggapan bahwa dirinya adalah
subjek yang tidak berdaya untuk mempengaruhi ataupun mengubah sistem. Dengan
demikian scara umum mereka menerima segala keputusan yang diambil dari segala
kebijaksanaan pejabat bersifat mutlak, tidak dapat diubah-ubah. Dikoreksi,
apalagi ditentang. Bagi mereka yang prinsip adalah mematuhi perintahnya,
menerima, loyal, dan setia terhadap anjuran, perintah, serta kebijaksanaan
pimpinannya.
Orientasi budaya politik
kaula/subjek yang murni sering terwujud dalam masyarakat yang tidak dapat
struktur masukan yang deferensiasi. Demikian pula orientasi dalam sistem
politik lebih bersifat normatif dan afektif daripada kognitif. Oleh karena itu,
dapat dipahami bila mereka memiliki sikap yang demikian.
Masyarakat yang memiliki budaya
politik seperti itu, bila tidak menyukai terhadap sistem politik yang berlaku
hanyalah diam dan menyimpannya saja di dalam hati. Sikap itu tidak direalisasi
kedalam bentuk perilaku konkret karena diyakini tidak ada sarana untuk
memanifstasikannya. Lebih-lebih dalam masyarakat yang berbudaya subjek terdapat
pandangan bahwa masyarakat terbentuk dari struktur hierarkis (vertikal).
Sebagai akibatnya individu atau kelompok digariskan untuk sesuai dengan garis
hidupnya sehingga harus puas dan pasrah pada keadaannya.Biasanya siap-sikap
seperti itu timbul karena diakibatkan oleh faktor-faktor tertentu seperti proses
kolonisasi dan kidiktatoran.
C. Budaya politik partisipan (participant
political culture)
Adalah masyarakat yang terdiri dari
individu-individu yang berorientasi terhadap struktur inputs dan proses dan
terlibat didalamnya atau melihat dirinya sebagai potensial terlibat,
mengartikulasikan tuntutan dan membuat keputusan. Pada budaya poltik ini
ditandai dengan kesadaran politik yang tinggi.
Budaya partisipan adalah budaya
dimana masyarakat sangat aktif dalam kehidupan politik. Masyarakat dengan
budaya politik partisipasi, memiliki orientasi yang secara eksplisit ditujukan
kepada sistem secara keseluruhan, bahkan terhadap struktur, proses politik dan
administratif. Tegasnya terhadap input maupun output dari sistem politik itu.
Dalam budaya politik itu seseorang atau orang lain dianggap sebagai anggota
aktif dalam kehidupan politik, masyarakat juga merealisasi dan mempergunakan
hak-hak politiknya. Dengan demikian, masyarakat dalam budaya politik partsipan
tidaklah menerima begitu saja keputusan politik. Hal itu karena masyarakat
telah sadar bahwa betapa kecilnya mereka dalam sistem politik, meskipun tetap
memiliki arti bagi berlangsungnya sistem itu. Dengan keadaan ini masyarakat
memiliki kesadaran sebagai totalitas, masukan, keluaran dalam konstelasi sistem
politik yang ada. Anggota-anggota masyarakat partisipatif diarahkan pada
peranan pribadi sebagai aktivitas masyarakat, meskipun sebenarnya dimungkinkan
mereka menolak atau menerima.
D. Budaya politik campuran (mixed
political cultures)
Pada umumnya kebudayaan dalam
politik parokial, subjek, dan partisipasi hampir sama dan sebangun dengan
struktur politik tradisional, struktur otoritarian, dan sentralistis. Disamping
itu mengingat bahwa dalam perubahan sistem politik antara kultur dan struktur
seringkali tidak selaras, dalam pembahasan sistem politik yang cepat dewasa ini
terjadi perubahan format politik karena gagal mencapai harmoni.
Budaya politik campuran, maksudnya
disetiap bangsa budaya politik itu tidak terpaku kepada satu budaya, sekalipun
sekarang banyak negara sudah maju, namun ternyata tidak semuanya berbudaya
partisipan, masih ada yang kaula dan parokial. Inilah yang kemudian disebut
sebagai budaya politik campuran.
Seperti telah dikemukakan bahwa tiga
kebudayaan politik murni (parochial, kaula/subjek, dan partisipan) tersebut
merupakan awal bagi tipe-tipe kebudayaan politik atau disebut budaya politik
campuran (mixed political cultures). Adapun tiga bentuk kebudayaan itu adalah sebagai berikut :
1.Kebudayaan subjek parokial (The Parochial-subject Culture)
Pada masyarakat dengan bentuk budaya
subjek parokial terdapat sebagian besar yang menolak tuntutan-tuntutan
eksklusif masyarakat kerukunan desa atau otoritas feodal. Hal itu juga telah
mengembangkan kesulitan dalam sistem politik yang lebih kompleks dengan
struktur-struktur pemerintahan pusat yang bersifat kompleks. Banyak bangsa yang
melaui proses-proses peralihan parokial awal dari parokialisme lokal menuju
pemerintahan sentralisasi.
Dapat dikatakan bahwa sebuah sebuah
kebudayaan politik yang memiliki "kewibawaan" bersifat campuran.
Dalam kondisi itu orientasi pribadi yang tergabung di dalamnya bersifat
campuran pula. Dengan demikian, kebudayaan politik parokial yang menuju
hubungan politik subjek dapatlah dimantapkan pada sebuah titik tertentu dengan
menghasilkan perpaduan politik, psikologi, dan kultural yang berbeda-beda.
Namun demikian jenis perbedaan tersebut merupakan manfaat yang besar terhadap
stabilitas dan penampilan sistem politik itu.
Apabila kebudayaan warga negara
merupakan sebuah kebudayaan politik campuran seperti itu, di dalamnya terdapat
banyak individu-individu yang aktif dalam politik, tetapi banyak pula yang
mengambil peranan subjek yang lebih aktif. Peranan peserta, dengan demikian
telah ditentukan ke dalam peranan subjek parochial. Hal itu berarti bahwa warga
Negara yang aktif melestarikan ikatan-ikatan tradisional dan nonpolitik, dan
peranan politiknya yang lebih penting sebagai seorang subjek.Oleh karena itu,
orientasi subjek dan parokial, telah melunakkan orientasi keterlibatan dan
aktivitas individu dalam politik.
2.Kebudayaan subjek partisipan (Subjek Participant Culture)
Peralihan dari budaya parochial ke
budaya subjek bagaimanapun juga akan mempengaruhi proses peralihan dari budaya
subjek ke budaya partisipan. Secara umum masyarakat yang memiliki bidang
prioritas peralihan dari objek ke partisipan akan cenderung mendukung
pembangunan dan memberikan dukungan terhadap sistem yang demokratis.dalam
budaya subjek partisipan yang bersifat seperti ini sebagian warga negara telah memiliki
orientasi-orientasi masukan yang bersifat khusus dari serangkaian orientasi
pribadi sebagai seorang aktivis. Sementara itu sebagian warga negara yang lain
terus diarahkan dan diorientasikan kearah suatu struktur pemerintahan
otoritarian dan secara relatif memiliki rangkaian orientasi pribadi yang pasif.
Dengan demikian, terjadi perbedaan orientasi pada masyarakat, sebagian yang
cenderung mendorong proses partisipasi aktif warga Negara, sebagian lain justru
sebaliknya bersifat pasif.Masyarakat dengan pola budaya itu, secara orientasi
partisipan itu dapat mengubah karakter bagian dari budaya subjek. Hal itu
karena dalam kondisi yang saling berebut pengaruh antara orientasi demokrasi
dan otoritarian. Degan demikian, mereka harus mampu mengembangkan sebuah bentuk
infra struktur politik mereka sendiri yang berbeda. Meskipun dalam beberapa hal
tidak dapat menstransformasikan subkultur subjek kearah demokratis, mereka
dapat mendorong terciptanya bentuk-bentuk perubahan.
3.Kebudayaan parochial partisipan (The parochial Culture)
Budaya politik ini banyak didapati
di negara-negara berkembang. Pada tatanan ini terlihat Negara-negara tersebut
sedang giat melakukan pembangunan kebudayaan. Norma-norma yang biasanya
diperkenalkan bersifat partisipatif, yang berusaha meraih keselarasan dan
keseimbangan sehingga tentu mereka lebih banyak menuntut kultur partisipan. Persoalannya
ialah bagaimana dalam kondisi masyarakat yang sedang berkembang tersebut dapat
dikembangkan orientasi terhadap masukan dan keluaran secara simultan. Pada
kondisi ini sistem politik biasanya diliputi oleh transformasi parokial, satu
pihak cenderung kearah otoritarianisme, sedangkan pihak lain kearah demokrasi.
Struktur untuk bersandar tidak dapat terdiri atas kepentingan masyarakat,
bahkan infrastrukturnya tidak berakar pada warga negara yang kompeten dan
bertanggung jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar